Wednesday, January 22, 2014

Perjanjian Ruh Manusia dengan Allah swt


Asyhadu An-Laa Ilâha Illallâh wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullâh 

Saya bersaksi bahwa tiada Illah (Tuhan) selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul / utusan Allah.


Kalimat syahadatain adalah kalimatul haq, sebuah kalimat yang apabila setiap manusia di muka bumi mengucapkannya dengan ikhlas maka akan mampu mengubah wajah dunia. Syahadatain mampu mengubah seluruh manusia dalam aspek keyakinan, pemikiran, maupun jalan hidupnya. Perubahan itu juga meliputi berbagai aspek kehidupan manusia secara individu, masyarakat bahkan bangsa. 



Orang mukmin senantiasa menyebutnya setiap hari, misalnya ketika shalat dan azan. 

Mungkin ada sebahagian dari kita bertanya mengapa kalimat syahadat berbunyi menyaksikan? memang apakah atau kapan kita telah melihat Tuhan atau Rasul? 


Ketahuilah bahwa sebelum ruh kita sebelum ditiupkan ke dalam janin (jabang bayi), ruh kita sudah pernah berdialog dengan Allah swt dalam suatu perjanjian yang kelak akan dimintai pertanggung jawabannya, sebab janji itu pasti akan ditagih kelak di akhirat. 

Allah swt bertanya kepada ruh : ”Bukankah Aku ini Tuhanmu” 
Roh menjawab : ”Benar!, Kami telah menyaksikan” 



Sebagaimana dijelaskan dalam firmanNya: 

”Dan (Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Tuhan mengambil kesaksian terhadap ruh mereka sendiri (sebelum di tiupkan kedalam janin), ”Bukankah Aku ini Tuhanmu? ”Mereka (roh manusia) menjawab: ”Benar (Engkau Tuhan kami), kami telah bersaksi” (Kami lakukan yg demikian itu) agar nanti di hari Qiamat kamu tidak mengatakan: bahwa, ”sesungguhnya kami lalai terhadap hal ini" (QS Al-A’raf [7] : 172). 


Peristiwa inilah yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai ”Abdullah” perjanjian ”Ketuhanan” antara Allah swt dengan manusia dan sebaliknya. Perjanjian ketuhanan yang kemudian terlukis dalam tiap-tiap jiwa manusia, sebagai ukuran dasar rohaniyah, yang membawa lahir ke alam terang ini sebagai fitrah. 



Hal ini diingatkan kembali ketika kita berada di dunia fana ini, yaitu : 

”Dan sungguh, mereka sebelum itu (sebelum ruh ditiupkan ke dlam janin) telah berjanji kepada Allah tidak akan berbalik kebelakang (mundur). Dan perjanjian dengan Allah itu akan diminta pertanggung jawabannya” (QS Al-Ahzab [33] : 15) 
Dan 
”(yaitu) Orang yang memenuhi perjanjian Allah dan tidak melanggar perjanjian” (QS Ar-Ra’d [13] : 20) 



Sekarang, jelaslah bagi kita bahwa kita memang sudah pernah mengadakan perjanjian dengan Tuhan, Perjanjian ini diadakan sewaktu ruh kita dalam alam ruh, sebelum ditiupkan ke dalam jasmaninya. 



Namun ketika Ruh telah bersatu dengan Jasmani sehingga Jiwa timbul karenanya, maka setelah manusia telah mengenal dunia, maka banyak manusia telah tertipu oleh dunia lewat kesenangan-kesenangan semu, dan lupa akan janjinya dengan Allah swt, 

sebagaimana firmanNya: 
“Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan- Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS Al- Hadid [57] : 20). 



Lalu siapakah manusia yang selamat dan menepati janjinya dengan Allah swt? 


Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafaatmu di hari Kiamat?” Rasulullah saw. bersabda, “Aku telah mengira, ya Abu Hurairah, bahwa tidak ada seorang pun yang tanya tentang hadits ini yang lebih dahulu daripada kamu, karena aku melihatmu sangat antusias terhadap hadits. Orang yang paling bahagia dengan syafaatku di hari Kiamat adalah yang mengatakan la ilaha illallah secara ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (Bukhari).


Dialog Perjanjian Ruh Kita dengan ALLAH SWT

Perjanjian Kita dengan ALLAH SWT, dalam keimanan Islam sudah terjadi tatkala ruh kita sebelum ditiupkan ke dalam jasmani. Ruh kita sudah pernah berdialog dengan ALLAH SWT dalam suatu perjanjian yang kelak akan dimintai pertanggung jawabannya, sebab janji itu pasti akan ditagih kelak di akhirat. Inilah dialog ruh kita dengan ALLAH SWT:

ALLAH SWT bertanya kepada ruh : ”Bukankah Aku ini Tuhanmu”
Roh menjawab : ”Benar!, Kami telah menyaksikan”

Peristiwa inilah yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai ”Abdullah” perjanjian ”Ketuhanan” antara ALLAH SWT dengan manusia dan sebaliknya. Perjanjian ketuhanan yang kemudian terlukis dalam tiap-tiap jiwa manusia, sebagai ukuran dasar rohaniyah, yang membawa lahir ke alam terang ini sebagai fitrah. Hal ini diungkapkan dalam surat AL-A’raf ayat 172, yang artinya:

”Dan (Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan turunan anak Adam dari tulang punggungnya dan Tuhan mengambil kesaksian dari mereka sendiri, firmanNy: ”Bukankah Aku ini Tuhanmu?”Mereka (roh manusia menjawab: ”Benar! Kami telah menyaksikan”. Nanti di hari Qiamat agar kamu tidak mengatakan: bahwa, ”kami lalai terhadap hal ini. (QS. Al-A’raf 172).

Ayat tersebut, mengandung pemahaman tentang:
1.Manusia telah diciptakan ALLAH SWT atas fitrah Islam
2.Dalam Jiwa manusia telah disiapkan ALLAH SWT gharizah (naluri) iman

Konsekuensi dari orang yang berjanji adalah memenuhinya oleh karena adanya perjanjian kita dengan ALLAH SWT, adalah pemenuhan akan perjanjian tersebut untuk dimintakan pertanggung jawabnya di akhirat nanti.
Bagi setiap perjanjian tentu ada konsekuensinya, yaitu berupa hak dan kewajiban pada kedua belah pihak (para pihak: ALLAH dan Kita) yang mengadakan perjanjian. Hak adalah sesuatu yang harus diterima oleh satu pihak dari pihak lainnya, karena ia telah memberikan suatu kepada pihak lain. Dan kewajiban ialah sesuatu yang harus diberikan atau dikerjakan oleh satu pihak kepada/untuk pihak lainnya, karena ia telah menerima sesuatu dari pihak lain itu.

Hal ini diingatkan kembali ketika kita berada di dunia fana ini, yaitu :

”Dan adalah perjanjian ALLAH itu akan ditanyakan” (QS. Al-Ahzab, 15)

”Orang-orang yang menyempurnakan perjanjian ALLAH dan tidak merusak akan ikatannya” (QS. Ar-Ra’du, 20)

Sekarang, jelaslah bagi kita bahwa kita memang sudah pernah mengadakan perjanjian dengan Tuhan, dan perjanjian ini membekas dalam jiwa kita sebagai fitrah bertuhan yang Esa (ALLAH SWT) atau beragama. Perjanjian ini diadakan sewaktu roh kita dalam arwah, belum ditiupkan ke dalam jasmaninya.